Beberapa hari belakangan ini saya mendapat sebuah pengalaman yang berharga. Pengalaman yang saya maksudkan yaitu seorang reviewer mengoreksi artikel ilmiah untuk Call Paper dari sebuah jurnal Nasional yang belum terakreditasi Nasional tetapi sudah mendapat legalitas sebagaimana layaknya perizinan sebuah jurnal dan penerbitan artikel. Tentu jurnal ini sedang dipersiapkan untuk masuk dalam akreditasi Nasional yang berlaku untuk setiap Jurnal Ilmiah di Indonesia. Saya memanfaatkan undangan atau Call paper yang disampaikan editor jurnal kemudian saya membuat sebuah jurnal dan submit di Jurnal tersebut. Beberapa minggu kemudian saya mendapat berita agar saya memeriksa artikel saya karena ada catatan dari Reviewer Jurnal. Saya kemudian memeriksanya dan ternyata ada beberapa catatan dari seorang reviewer.
Pertama ada catatan di Abstrak, ia membuat catatan untuk saya memperhatikan Signifikansi dari tulisan saya. Membaca catatan ini saya geli membacanya karena dalam konteks karya ilmiah bila disebutkan kata signifikansi dalam bagian tertentu seperti di abstrak maka harus disebutkan angka signifikansinya. Tidak bisa disebut secara kualitatif dengan hanya menggunakan kata signifikan dengan sejumlah penjelsan singkat tentang signifikansi itu. Pada hal dalam Abstraksi, saya sudah menyebutkan metode penelitian yang saya pakai yaitu metode penelitian kualitatif dengan analisis data taksonomi domain.
Bila reviewer ini mengerti penelitian kualitatif yang mengadakan penelitian lapangan maka dengan membaca pernyataan saya pada bagian metodologi yaitu penggunaan metode dan analisis data maka ia mestinya paham bahwa signifikansi penelitian itu dapat dikemukakan dalam penelitian yang menggunakan metode penelitian kuantitatif.
Dalam metode penelitian kuantitatif akan disebutkan temuan penelitian yang menunjukkan angka signifikansinya lalu disebutkan dalam bagian abstrak. Jadi, sayangnya reviewer yang hanya punya pengalaman meneliti secara teoritik (membaca buku) dan menuangkan menjadi sebuah artikel atau tidak pernah menggunakan metode penelitian kualitatif dalam penelitian seperti skripsi, tesis dan disertasi akan membuat catatan yang tidak cocok secara metodologis. Saya punya pengalaman penelitian kualitatif di penelitian kualitatif untuk disertasi saya.
Pengalaman itu walaupun belum secara sempurna karena dalam penelitian teologi pendidikan yang menggunakan metodologi kualitatif dengan penelitian lapangan pada masa saya yaitu pada tahun 2012 itu sangat langka. Mungkin saya termasuk yang menggunakan metodologi kualitatif. Akan hal ini saya sudah kemukakan Bab III Disertasi saya da nada di blog ini bahkan saya sudah posting di OSF.IO
Ya jadi saran saya yakni alami penelitian kualitatif yang mengadakan penelitian lapangan. Jika tidak pernah melakukan penelitian kualitatif yang mengadakan penelitian lapangan maka akan membuat catatan terhadap artikel ilmiah yang tidak berkualitas. Mereka yang paham soal penelitian kualitatif yang megadakan penelitian lapangan akan memahami secara baik pada bagian metodologi. Kira-kira penulis artikel ilmiah menggunakan metode penelitian apa dan metode analisis data yang dipakai. Kalau metode penelitian kuantitatif ya tentu analisis data secara stataistik (penggunaan SPSS).
Bila kualitatif maka penulis tersebut akan mengemukakan
bahwa ia menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis data
taksonomi domain. Bukan seperti yang biasa terjadi yaitu dalam abstraksi bahkan
bagian metodologi disebut penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan riset
pustaka dan menganalisis secara deskriptif. Ya sebenarnya semua metode
penelitian tetap menggunakan kajian buku, dalam kajian buku tentu ada
analisisnya dan dikemukan secara deskripsitif di bagian teori.
Bila saya menjadi reviewer maka
catatan seperti yang dikemukakan oleh seorang reviever atas artikel saya
khususnya pada bagian abstrak tidak perlu ada catatan seperti itu. Catatan itu
menunjukkan betapa lemahnya metodologi kualitatif yang dipahami reviewer yang
mengoreksi artikel saya.
Dalam abstraksi sudah jelas ada petunjuk atau pedoman dari jurnal tersebut yaitu dalam bagian Abstraksi sudah ada petunjuk yang jelas yaitu dalam abstrak, penulis cukup mengemukakan tujuan penelitian, metode yang dipakai, teori dan temuan. Saya sudah mengikuti aturan ini yakni saya mengemukakan apa yang menjadi tujuan penelitian dengan menyatakan demikian: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sisi negative dan positif …, sedangkan untuk metode penelitian, saya menyakan dalam artikel saya demikian: Metode yang dipakai yakni metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis data taksonomi domain dan seterusnya untuk teori dan temuan penelitian secara singkat di Abstrak. Lalu catatan reviewer demikian: Lalu dimana letak relevansi dan signifikansinya bagi para ….? Catatan inilah yang membuat saya mengkritiknya.
Jika saya menggunakan kata Signifikansi maka harus ada angka sesuai olah data dengan SPSS, sementara metode penelitian yang saya pakai adalah metode kualitatif dengan analisis data taksonomi domain. Mungkin bila saya berkesempatan bertanya kepada revier ini maka ia akan sulit memberi jawaban atas catatannya. Jarang dalam jurnal ilmiah teologi ada yang menyatakan saya menggunakan metodologi kualitatif dengan analisis data yang dikenal dalam buku-buku metodologi penelitian kualitatif. Yang ada hanya mengikuti kata orang dari waktu ke waktu tanpa ada alasan metodologi yang jelas.
Saya menyatakan menggunakan metodologi kualitatif dengan analisis
taksonomi domain karena memang secara metodologi disebutkan demikian dalam buku
metodologi penelitian kualitatif. Sumbernya saya sudah cantumkan dalam catatan
kaki yang berhubungan dengan metodologi. Dalam disertasi saya, saya menggunakan
metodologi kualitatif yang mengadakan penelitian lapangan dengan beberapa
pilihan analisis data seperti taksonomi domain, trianggulasi dll. Lalu yang
menyatakan memilih metode analisis data “triangulasi”. SIlakan baca Bab III
Disertasi saya dalam blog ini.
Selain itu ingat bahwa dalam metodologi penelitian kualitaif, peneliti atau penulis artikel ilmiah yang mengadakan peneltian lapangan adalah orang yang menjadi alat utama dalam mendapatkan data lapangan sesuai pokok yang diteliti. Biasanya disebut intrumen kunci. Ini berarti dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat memakai alat-alat di luar dirinya seperti menggunakan kuisioner, foto, rekaman untuk mendapatkan data di tempat penelitian.
Penulis juga dapat menggunakan pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul kemudian diolah dan dianalisis untuk menghasilkan informasi tentang variable atau konsep yang diteliti. Misalnya saya meneliti tentang Efektivitas Pemanfaatan Video Conference dalam Pembeajaran di STT …. Setelah membaca sejumlah buku yang membahas tentang teori efektivitas dan video conference seperti zoom dan google meet, saya kemudian menuangkan dalam bentuk tulisan.
Biasanya di skripsi, tesis dan disertasi pokok di atas dikemukakan dalam Bab II sebagai bagian dari landasan teori atau teoritis-teologis, lalu melanjutkan ke tempat penelitian yaitu di STT yang dipilih. Lalu mengadakan penelitian sesuai metode penelitian yang dipilih. Bila memilih metode kuantitatif maka pilihan untuk mendapat data tentang Efektivitas Pemanfaatan Video Conference dalam Pembeajaran di STT yaitu menggunakan Kuisioner yang dikembangkan dari construct (definisi peneliti) yang tersimpul dari variable yang diteliti. Misalnya saya membuat construct penelitian untuk Efektivitas Pemanfaatan Video Conference dalam Pembeajaran di STT. Contructnya demikian: yang dimaksudkan dengan Efektivitas Pemanfaatan Video Conference dalam Pembeajaran di STT adalah ketercapaian tujuan pembelajaran melalui pemanfaatan video conference yang dilakukan di STT … dengan dimensi …. Dan indicator …. Nanti pernyataan atau pertanyaan di angket diambil dari definisi ini. Dengan begitu peneliti benar-benar menguji teori. Ini berlaku di penelitian kuantitatif. Jika kualitatif maka peneltian di lapangan tentu berbeda dengan penelitian kuantitatif. Yang kualitatif bias menyebar angket kemudian berdasarkan angket itu dianalisis lagi apakah benar demikian. Misalnya mahasiswa menyatakan mereka sangat memahami kuliah secara online. Lalu diamati lagi benarkah mereka sangat mengerti. Untuk itu diadakan wawancara. Di dalam wawancara akan Nampak sejauh mana tingkat pemahamannya.
Bila saya menggunakan
taksonomi domain maka saya kembangkan lagi pembelajaran di STT itu menjadi
beberapa taksonomi seperti semester I, Semester II dan seterusnya sebagaimana
yang ada dalam STT tersebut. Bila di STT tempat mengadakan penelitian hanya
semester I dan V maka taksonomi juga hanya 2 (Taksonomi mahasiswa), kita
kembangkan lagi taksonomi pengajar. Dalam taksonomi pengajar juga diperhatikan
lagi, ada yang mahir IT ada juga yang masih gaptek maka sudah dapat dibayangkan
efektifitas proses pembelajaran online tsb.
Salah satu yang membuat saya senang karena komunikasi dengan editor. Ia menyatakan masukan dari reviewer tidak mutlak diikuti seluruhnya. Saya pikir ini saran yang sangat brilian. Karena bisa saja reviewer belum punya pengalaman dalam metodologi penelitian seperti penelitian kualitatif yang tidak sebatas membaca buku tetapi dilanjutkan dengan penelitian lapangan yang disebut dengan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dalam konteks ini adalah penelitian kualitatif yang mengadakan penelitian lapangan. Sebab kebenaran sebuah teori tidak berdasarkan buku semata tetapi juga berdasarkan temuan lapangan. Oleh karena itu kebenaran pengetahuan harusnya dari kebenaran rasional dan kebenran empiris atau dari membaca buku dan mengadakan penelitian lapangan.
Jadi, artikel di atas merupakan respon kemarahan
ilmiah atas catatan reviewer terhadap artikel saya. Marah ilmiah karena reviewer kurang mengerti metodologi kualitatif
Salam